Merenungi hidup, itu biasa. Tanpa siapa pun kita berusaha merenungi hidup, manusia diciptakan dengan fitrah kuat untuk memikirkan hidupnya. Karena itu, manusia dianggap sebagai makhluk atau ciptaan Allah yang selalu kepayahan.
“Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah…” (QS. Al-Balad: 4).
“Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapatkan kebaikan ia kikir..” (QS. Al-Ma’aarij: 19-21)
لاَ يَمَسُّهُمْ فِيهَا نَصَبٌ وَمَا هُمْ مِنْهَا بِمُخْرَجِينَ
“Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan darinya…” (QS. Al-Hijr: 48).
Manusia begitu kepayahan, dan wujud kepayahan itu begitu terlihat nyata dalam kehidupan, hanya semata-mata karena ia memikirkan hidup. Diawali dengan bagaimana ia tetap bertahan hidup. Lalu berkembang, bagaimana ia bisa hidup dengan lebih baik dari sekarang. lalu berlanjut lagi, bagaimana ia bisa hidup enak. Selanjutnya, bagaimana ia bisa hidup enak dan mudah. Lalu bagaimana bisa hidup lebih enak dan lebih mudah lagi. Setelah itu, bagaimana ia bisa tetap bertahan hidup enak dan mudah. Dan seterusnya. Satu obsesi, melahirkan obsesi lain.
Maka kita sering mendengar sebuah pertanyaan klasik, “Apa obsesi dalam hidup ini yang belum Anda capai?”
Lalu, selalu saja kita mendapatkan jawaban yang nyaris sama persis dari yang ditanya, “Saya ingin seperti ini, begini, dan begitu…”
Padahal, yang ditanya kebanyakan justru orang yang sudah tampak seperti memiliki segalanya. Punya popularitas, punya uang, punya banyak teman, punya pekerjaan yahut sebagai mesin uangnya. Tapi, itulah proses memikirkan wujud yang disebut ‘hidup’.
Begitu besar obsesi manusia, dan begitu beragam dinamika dari obsesi tersebut, sehingga sedikit saja nyasar ke wilayah yang kurang dikehendaki, seseorang akan merasa kepayahan. Ia akan begitu menderita karenanya.
Ada orang yang kepayahan karena sulit bertahan hidup. Ada yang kepayahan karena tak bisa hidup enak. Ada yang merasa susah karena tak bisa hidup enak dengan mudah. Ada juga yang merasa begitu kepayahan karena sebagian dari rasa ‘enak’ dan rasa ‘mudah’ itu berkurang sedikit saja. Ata tidak berkurang, tapi ada orang dekat yang mencapainya dengan lebih mudah, dan merasakan yang lebih enak. Itulah, sebagian dari yang diisyaratkan oleh Alquran di atas, “Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah…” (QS. Al-Balad; 4).
Bagitu payahnya kita memikirkan hidup, padahal hidup dan mati itu sama pastinya. Kita pasti hidup, karena inilah hidup itu. Tapi kitapun pasti akan mati. Sayangnya, kita begitu gigih memikirkan hidup yang pasti ini, namun teledor memikirkan kepastian yang lain, yaitu mati!!
Ya Rabbi! Betapa bodohnya kami. Begitu banyak hal tentang hidup, kita pelajari, kita amati, kita cermati dan kita nikmati sepuas hati. Tapi, berapa banyak hal tentang kematian yang telah kita ketahui? Sedikit saja.
Berapa banyak hal tentang kematian yang kita amati, kita resapi dan kita jadikan panduan menjalani hidup ini? untuk menyongsong datangnya kematian itu suatu hari? Nyaris tak pernah. Betapa mengenaskan.
Ketika kehidupan dunia yang begitu canggih seperti sekarang ini sudah menawarkan begitu banyak kenikmatan hidup bagi kita, saatnya kita berpikir tentang kematian. Saatnya kita menyisakan sebagian waktu kita, untuk merenungi, bagaimana kita akan mati….
Disalin dari buku Mati Tersenyum Esok Pagi, penerbit Shafa Publika
Artikel www.PengusahaMuslim.com